Kamis, 21 Februari 2008

pengalaman di jepang

Dua tahun yang lalu saya menghabiskan liburan yang sangat mengesankan. Sehabis kuliah selama berhari-hari di mister donut, dan hari minggu pagi pun masih diminta masuk, pufff….akhirnya saya menarik nafas lega, ketika diijinkan pulang jam 10 pagi. Sudah saya rencanakan hari ini setelah bekerja, saya harus pergi memotret sakura di meijo koen dekat tempat saya bekerja. Karena sudah tidak ada waktu lagi, helaian bunga sakura sebentar lagi akan rontok. Karena jam 2 saya harus mengajar, jadi acara memotret hanya berlangsung 2 jam. Lumayan banyak bunga yang berhasil saya jepret, tidak hanya sakura, tapi bunga musim semi lainnya yang mulai bermekaran.

Setelah mengajar, jam 4 saya diundang teman yang tinggal di desa untuk makan malam. Suami teman membudidayakan lebah Aphis cerana japonica yang terkenal sangat mahal produk madunya. Sebagai pengajar di Aichi ken nougyou daigaku kou (愛知県立農業大学交), yaitu college pertanian milik provinsi Aichi, teman mendapatkan fasilitas rumah mungil di dekat kampus.

Berkunjung ke desa Miai(美合)yang terletak di Okazaki membawa suasana yang sangat berbeda bagi saya yang terbiasa tinggal di Nagoya yang penuh pencakar langit. Warna hijau persawahan sudah mulai tampak ketika memasuki daerah Miai, kebun-kebun sayur memanjang indah dan rapih. Benar-benar mengingatkan saya pada kampung. Teman menjemput di stasiun dan mengajak menyusuri areal kampus yang begitu luas. Karena hari Minggu, tak ada seorang mahasiswa pun yang tampak. Walaupun agak capek, saya menikmati jalan-jalan sore itu. Melihat beragam sakura yang katanya ada 350 species di dunia, mendengarkan cicit burung `kiri` (nama latinnya tidak tahu, tapi dia mengeluarkan bunyi kiri..kiri..kiri), dan orang Jepang menamainya `kiri tori`, pun mencium bau khas sapi yang lagi tidur-tiduran. Sepanjang jalan, tentu saja saya tak henti-hentinya bertanya nama-nama tanaman, dan teman saya yang kebetulan orang pertanian menjelaskan dengan sangat detil.

Sekitar jam 6 kami pulang ke rumahnya dan melihat 2 kandang lebah yang unik, tidak seperti di Indonesia. Rumah lebah di Indonesia berupa screen-screen, sedangkan rumah lebah di Jepang tidak menggunakan screen, tapi semacam balok/batang kayu. Saya hanya melihat dari jauh kandang-kandang itu karena belum pernah tersengat lebah dan tentu saja tidak mau merasakannya.

Teman mempersiapkan makan malam yang wah, dengan menu sushi, sashimi, tempura dan ikan pepes ala Jepang. Sambil menunggu istrinya memasak, Pak Koide, sang suami menjelaskan dan menunjukkan buku lebah yang sangat komplit dan full color. Saya baru tahu kalau lebah yang dibudidayakan di Indonesia adalah lebah western, dari Eropa. Dulu saya diberi madu dari hutan Kalimantan yang rasanya pahit bukan main, tapi karena obat, saya tenggak juga. Lebah yang ada di Kalimantan adalah lebah asli Kalimantan.

Sambil menerangkan, tentu saja saya dipersilahkan mencicipi madu beragam rasa. Ada 3 madu yang disajikan, madu dari lebah Jepang, madu yang dihasilkan dari bunga akasia, dan madu yang diproduksi dari bunga sakura. Yang terakhir belum sempat saya cicipi karena sengaja disiapkan sebagai oleh-oleh buat saya bawa pulang. Saya bukan ahli madu, tapi saya sering minum madu. Mengikuti sunnah Nabi SAW yang membiasakan minum madu plus air hangat setiap pagi. Atau kalau tidak sempat masak air, biasanya madunya langsung saya jilat. Dari madu-madu yang pernah saya minum, madu Sulawesi paling enak. Ketika diminum tenggorokan tidak terlalu sakit, tapi minum madu Jepang benar-benar lain. Karena musim dingin, madu yang diberikan agak beku, tapi ini tidak mengurangi rasa enaknya. Barangkali ini madu yang paling enak yang pernah saya minum, tidak terlalu manis dan tidak menimbulkan rasa sakit di tenggorokan, tapi justru membuat ketagihan. Madu dari bunga akasia punya bau agak lain, seperti bau minyak goreng. Madu sakura belum saya cicipi hingga hari ini.

Dari penjelasan Pak Koide saya agak mengerti kenapa budidaya lebah Jepang tidak menggunakan screen. Ternyata lebah Jepang rada elit, tidak mau membuat sarangnya di screen, tapi lebih suka berkumpul di batang-batang. Di hutan-hutan, lebah-lebah Jepang nongkrong pada anggrek Cymbidium, kadang hingga memenuhi tanaman. Saya tidak tahu bagaimana lebah-lebah di Kalimantan atau Sulawesi, tapi sepertinya mereka bersarang di pohon-pohon tinggi. Anggrek Cymbidium sekarang banyak dikulturkan di laboratorium karena nilai jualnya yang tinggi. Kalau tidak salah di Indonesia yang terkenal adalah anggrek Cymbidium floribundum.

Sepanjang tahun lebah-lebah mendatangi tanaman yang berbeda. Dan karenanya rasa madu yang diproduksi per musim pun berbeda. Saya tidak mencatat siklusnya dengan jelas, tapi di antara tanaman yang sering didatangi lebah adalah jeruk, teratai, anggrek dan sakura.

Selain belajar banyak tentang lebah dan madunya, teman juga menunjukkan buku yang menjelaskan tanaman-tanaman Jepang yang kami makan hari itu. Ada tempura `tara`、yang diambil dari tunas-tunas yang baru muncul, atau `mochi berwarna hijau yang dibuat dari perdu `yomogi`. Saya iri sekali melihat buku ensiklopedi tanaman yang sangat lux itu, di Indonesia saya punya beberapa tapi hanya melulu tanaman di luar Indonesia. Kapan ya ada buku lux bergambar khusus tentang tanaman asli Indonesia ?

Berkunjung ke desa sama saja nuansanya, orang-orang di desa selalu ramah, menyediakan semua makanan terbaiknya, menshare semua ilmu yang mereka punya, menyediakan oleh-oleh terbaik, bahkan menawarkan supaya makanan dibungkus pulang. Ah, orang-orang di desa memang sangat manusiawi. Saya teringat kalau berkunjung ke kampung nenek. Dari rumah-rumah yang kami lewati selalu terdengar ajakan ramah, “mampir dulu, minum teh!” Biasanya tidak hanya teh, tapi pisang goreng, ubi rebus bahkan kadang sampai menu makan komplit pun ditawarkan. Mengapa tradisi yang demikian baik hilang begitu saja di kota-kota ? Sama saja di Indonesia ataupun Jepang.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...